Tafsir Ayat-ayat Hijab Wanita


1. Nash Ayat
ي اأ يPه ا الن ب يP ق ل" لز,و اج ك و ب ن ات ك و ن س اء ال"م ؤ,م ن ي ي د,ن ي ع ل ي,ه ن
م ن, ج لب يب ه ن ذ ل ك أ د,ن ى أ ن" ي ع,ر ف"ن ف ل ي ؤ,ذ ي,ن و ك ان الل ه غ ف ورèا
ر ح يمèا( الحزاب 59)
Wahai  para  Nabi,  katakanlah  kepada  istri-istrimu,  anak-anak wanitamu  dan  istri-istri  orang  beriman,  hendaklah  mereka mengulurkan jilbabnya ke seleuruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar  mereka  lebih  mudah  untuk  dikenal  sehingga  mereka  tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 59)

2. Makna per kata
 Azwajika  (ك~~~~أزوج):  yang  dimaksud  dengan  kata  ini adalah para istri nabi yang statusnya menjadi ibu dari orang-orang mukmin. 
 Yudnina  (دنينا~~~ي)  :  maknanya  adalah  menjulurkan  atau memanjangkan.  Dan  yang  dimaksud  dalam  ayat  ini adalah menutup wajah dan badan agar berbeda dengan budak
 Jalabib  (ن~~~~جلبيبه):  maknanya  adalah  pakaian  yang menutupi  seluruh  badan.  Dalam  kamus  lisanul  arab 92disebutkan  bahwa  jilbab  adalah  pakaian  yang  lebih luas / besar dari kerudung yang menutup kepala dan dada.  Ibnu  Abbas  berkata  bahwa  wanita  muslimah diperintahkan untuk menutup kepala dan wajah mereka kecuali sebelah mata saja agar mereka dikenali sebagai wanita merdeka. 
 Adnaa  (ى~~أدن): merupakan  fi`il tafdhil yang  bermakna lebih  dekat.   Asalnya  dunuw  yang  bermakna  dekat. Adnani minhhu artinya dekatkan aku kepadanya. 
 Ghafura  (ورا~~~غف):  maknanya  Maha  Pengampun,  yaitu menghapus  dosa-dosa.  Ampunan  ini belaku  buat mereka yang meminta ampun.
 Rahima  (ا~~~رحيم):  maknanya  mengasihi  hambanya  dan menyayangi.  Dan  diantara  bentuk  kasih  syangnya adalah tidak mewajibkan mereka dengan hal yang tidak mereka mampu.

3. Ta`bir Qurani
a. Allah memulai dengan menyebutkan istri-istri nabi dan anak-anaknya  dalam  perintah  untuk  memakai  hijab secara syar`i. Hal itu memberi isyarat bahwa para istri dan anak-anak nabi adalah merupakan suri tauladan bagi umatnya. Dan dakwah itu tidak akan membuahkan hasil keculai  bila  seorang  da`i  memulai  dari  dirinya  dan keluarganya terlebih dahulu. 
b. Perintah  untuk  berhijab  datang  setelah  perintah  untuk menutup  aurat  itu  kuat  dan  mendalam.  Sehingga berhijab merupakan tambahan dari kewajiban menutup aurat. 

4. Sebab turunnya ayat Para mufassir meriwayatkan bahwa pada zaman dahulu para wanita baik yang merdeka maupun yang budak, keluar pada  malam  bila  ingin  buang  air  di  antara  semak  dan pohon.  Sehingga  tidak  bisa  dibedakan  antara  wanita merdeka  dan  budak.  Orang-orang  fasiq  di  Madinah
sebagaimana  kebiasaan  jahiliyah  sering  menggoda  para budak  wanita.  Namun  seringkali  malah  menggoda  para wanita merdeka dengan alasan bahwa mereka salah kira. Sehingga  turunlah  ayat  ini  untuk  membedakan  antara wanita  merdeka  dengan  budak,  yaitu  dengan  memakai
jilbab yang panjang dan lebar. 

5. Batas Aurat Wanita
Khilaf dan perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang batasan aurat wanita itu akan selalu ada, selama nash-nash  itu  sendiri  memang  mengandung  khilaf  dan perbedaan  penafsiran  serta  variasi  istimbath  hukum. Selama masih  ada dari umat ini yang berpegang kepada kekerasan gaya Ibnu Umar ra dan keluwesan Ibnu Abbas ra. Dan selama para shahabat ada yang shalat Ashar di jalan dan ada yang shalat Ashar di Bani Quraidhah. Namun  semua  itu bukanlah  aib  dan dosa, melainkan justru rahmat dari Allaw Azza Wa Jalla. Yang pendapatnya salah  mendapat  uzur  dan  justru  mendapat  satu  pahala. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tidak ada kesalahan dalam ijtihad masalah cabang-cabang (furu`).  Namun  di balik  khilaf  dalam masalah  ini,  tidak  ada salahnya  kami kemukakan  dalil-dalil dari masing-masing pihak,  baik  yang  mewajibkan  niqab  (tutup  muka)  bagi wanita maupun yang tidak mewajibkan. 

1. YANG MEWAJIBKAN TUTUP MUKA (NIQAB)
Mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka  (memakai  niqab)  berangkat  dari  pendapat  bahwa wajah itu bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis non mahram.  

Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain :
a. Ayat Hijab (Surat Al-Ahzab : 59)
“Hai  Nabi,  katakanlah  kepada  isteri-isterimu,  anak-anak perempuanmu  dan  isteri-isteri  orang  mu'min:  "Hendaklah  mereka mengulurkan jilbabnya  ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzah : 59)
Ayat  ini  adalah  ayat  yang  paling  utama  dan  paling sering  dikemukakan  oleh  pendukung  wajibnya  niqab. Mereka mengutip pendapat para mufassirin terhadap ayat ini  bahwa  Allah  mewajibkan  para  wanita  untuk menjulurkan  jilbabnya  keseluruh  tubuh  mereka  termasuk kepala,  muka  dan  semuanya,  kecuali  satu  mata  untuk melihat.  Riwayat  ini  dikutip  dari  pendapat  Ibnu  Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak  ada  kesepakatan  diantara  mereka  tentang  makna
‘jilbab’ dan makna ‘menjulurkan’. Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan nukilan pendapat dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena  dalam  tafsir  di  surat  An-Nuur  yang  berbunyi (kecuali  yang  zahir  darinya),  Ibnu  Abbas  justru berpendapat sebaliknya.  Para ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa ayat ini sama sekali tidak bicara tentang wajibnya menutup  muka  bagi  wanita,  baik  secara  bahasa maupun secara `urf (kebiasaan). Karena yang diperintahkan jsutru menjulurkan  kain  ke  dadanya,  bukan  ke  mukanya.  Dan tidak ditemukan ayat lainnya yang memerintahkan untuk
menutup wajah. 

b. Surat An-Nuur : 31
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan  pandangannya,  dan  kemaluannya,  dan  janganlah  mereka menampakkan  perhiasannya, kecuali yang  nampak dari padanya.” (QS. An-Nur : 31) 
Menurut  mereka  dengan  mengutip  riwayat  pendapat dari Ibnu Mas`ud bahwa yang  dimaksud  perhiasan yang tidak  boleh  ditampakkan  adalah  wajah,  karena  wajah adalah  pusat dari kecantikan.  Sedangkan  yang  dimaksud dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju. Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahi dari para shahabat termasuk riwayt Ibnu Mas`ud sendiri,
Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan lainnya dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan ‘yang biasa nampak darinya’ bukanlah  wajah,  tetapi  al-kuhl  (celak  mata)  dan  cincin. Riwayat ini menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih. 

c. Surat Al-Ahzab : 53
“Apabila kamu meminta sesuatu  kepada mereka , maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti  Rasulullah dan tidak mengawini  isteri-isterinya  selama-lamanya  sesudah  ia  wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar  di sisi Allah.”(QS. AlAhzab : 53). Para  pendukung  kewajiban  niqab  juga  menggunakan ayat ini untuk menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa wajah termasuk bagian
dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski khitab ayat  ini  kepada  istri  Nabi,  namun  kewajibannya  juga terkena kepada semua wanita mukminah, karena para istri Nabi itu adalah teladan dan contoh yang harus diikuti. Selain  itu  bahwa  mengenakan  niqab  itu  alasannya adalah  untuk  menjaga  kesucian  hati,  baik  bagi  laki-laki yang melihat ataupun buat para istri nabi. Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka (istri nabi).  Namun  bila  disimak  lebih  mendalam,  ayat  ini  tidak berbicara masalah kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para shahabat Rasulullah SAW dengan para istri beliau. Kesucian hati ini kaitannya  dengan perasaan
dan  pikiran  mereka  yang  ingin  menikahi  para  istri  nabi nanti setelah beliau wafat. Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar mereka jangan menyakiti hati nabi dengan mengawini para  janda  istri  Rasulullah  SAW  sepeninggalnya.  Ini sejalan dengan asbabun nuzul ayat ini yang menceritakan bahwa ada shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra bila kelak Nabi wafat. Ini tentu sangat menyakitkan perasaan nabi.  Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina mata antara shahabat nabi dengan istri beliau adalah penafsiran  yang  terlalu  jauh  dan  tidak  sesuai  dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi yang agung. 
Sedangkan  perintah  untuk  meminta  dari  balik  tabir, jelas-jelas  merupakan  kekhusususan  dalam  bermuamalah dengan para istri Nabi. Tidak ada kaitannya  dengan ‘alIbratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah’. Karena ayat ini  memang  khusus  membicarakan  akhlaq  pergaulan dengan istri nabi. Dan mengqiyaskan antara para istri nabi dengan seluruh wanita muslimah adalah qiyas yang tidak tepat,  qiyas  ma`al  fariq.  Karena para istri nabi memang memiliki standart akhlaq yang khusus. Ini ditegaskan dalam ayat Al-Quran. “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,  jika  kamu  bertakwa.  Maka  janganlah  kamu  tunduk   dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya  dan ucapkanlah perkataan yang baik,” (QS. Al-ahzab : 32)

d. Hadits Larang Berniqab bagi Wanita Muhrim
Para  pendukung  kewajiban  menutup  wajah  bagi muslimah  menggunakan  sebuah  hadits  yang  diambil
97mafhum  mukhalafanya,  yaitu  larangan  Rasulullah  SAW bagi muslimah untuk menutup wajah ketika ihram. “Janganlah  wanita  yang  sedang  berihram  menutup  wajahnya (berniqab) dan memakai sarung tangan”. Dengan adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya para  wanita  itu  memakai  niqab  dan  menutup  wajahnya, kecuali  saat  berihram.  Sehingga  perlu  bagi  Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang mereka. Seandainya setiap  harinya  mereka  tidak  memakai  niqab,  maka  tidak
mungkin beliau melarangnya saat berihram.  Pendapat  ini  dijawab  oleh  mereka  yang  tidak
mewajibkan niqab dengan logika sebaliknya. Yaitu bahwa saat ihram, seseorang memang dilarang untuk melakukan sesautu yang tadinya halal. Seperti memakai pakaian yang berjahit, memakai parfum dan berburu. Lalu saat berihram, semua  yang  halal  tadi  menjadi  haram.  Kalau  logika  ini diterapkan  dalam  niqab,  seharusnya  memakai  niqab  itu hukumnya hanya sampai boleh dan bukan wajib. Karena semua larangan dalam ihram itu hukum asalnya pun boleh dan bukan wajib. Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan
bahwa sebelumnya hukumnya wajib ? Bahwa  ada  sebagian  wanita  yang  di  masa  itu menggunakan  penutup  wajah,  memang  diakui.  Tapi masalahnya menutup wajah itu bukanlah kewajiban. Dan ini adalah logika yang lebih tepat. 

e. Hadits bahwa Wanita itu Aurat
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa,”Wanita itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya”. Menurut Atturmuzi hadis ini kedudukannya hasan shahih. Oleh para pendukung pendapat ini maka seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, termasuk wajah, tangan, kaki dan semua  bagian  tubuhnya.  Pendapat  ini juga dikemukakan oleh sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah.

f. Mendhaifkan Hadits Asma`
Mereka juga mengkritik hadits Asma` binti Abu Bakar yang berisi bahwa, “Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali ini dan ini” Sambil beliau memegang wajar dan tapak tangannya.

2. PENDAPAT BAHWA WAJAH WANITA BUKAN  AURAT
Sedangkan mereka yang mendukung pendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat wanita menggunakan banyak dalil serta mengutip pendapat dari para imam mazhab yang empat  dan  juga  pendapat  salaf  dari  para  shahabat Rasulullah SAW. 

a.  Para  shahabat  Rasulullah  SAW  sepakat  mengatakan bahwa  wajah  dan  tapak  tangan  wanita  bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat tentang masalah batas aurat wanita. 

b.  Para  Fuqoha  sepakat  bahwa  wajah  bukan  aurat  bagi wanita.  Al-Hanafiyah  mengatakan  tidak  dibenarkan  melihat wanita  ajnabi  yang  merdeka  kecuali  wajah  dan  tapak tangan.  (lihat  Kitab  Al-Ikhtiyar).  Bahkan  Imam  Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak bisa dihindarkan.  Al-Malikiyah  dalam  kitab  ‘Asy-Syarhu  As-Shaghir’ atau  sering  disebut  kitab  Aqrabul  Masalik  ilaa  Mazhabi
Maalik, susunan Ad-Dardiri dituliskan bahwa batas aurat waita  merdeka  dengan  laki-laki  ajnabi  (yang  bukan mahram)  adalah  seluruh  badan  kecuali  muka  dan  tapak tangan. Keduanya itu bukan termasuk aurat.  Asy-Syafi`iyyah  dalam  pendapat  As-Syairazi  dalam kitabnya  ‘al-Muhazzab’,  kitab  di  kalangan  mazhab  ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan. Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata kitab  Al-Mughni 1 : 1-6,”Mazhab  tidak  berbeda pendapat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan tapak tangannya di dalam shalat
Daud  yang  mewakili  kalangan  zahiri  pun  sepakat bahwa batas aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuai muka dan  tapak  tangan.  Sebagaimana  yang  disebutkan  dalam Nailur  Authar.  Begitu  juga  dengan  Ibnu  Hazm mengecualikan wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab Al-Muhalla. 

c. Pendapat para mufassirin. Para  mufassirin  yang  terkenal  pun  banyak  yang mengatakan bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara lain At-Thabari,  Al-Qurthubi,  Ar-Razy,  Al-Baidhawi  dan lainnya.  Pendapat  ini  sekaligus  juga  mewakili  pendapat
jumhur ulama. 

d. Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif,  ternyata  tidak  berdiri  sendiri,  karena  ada  qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan  hadits  tersebut.  Sehingga  ulama  modern sekelas  Nasiruddin  Al-Bani  sekalipun  meng-hasankan hadits  tersebut  sebagaimana  tulisan  beliau  ‘hijab  wanita muslimah’, ‘Al-Irwa`, shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij
Halal dan Haram`. 

e. Perintah kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan. Allah SWt telah memerintahkan kepada laki laki untuk menundukkan  pandangan  (ghadhdhul  bashar).  Hal  itu karena  para  wanita  muslimah  memang  tidak  diwajibkan untuk menutup wajah mereka.  “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".(QS. An-Nuur : 30).
Dalam  hadits  Rasulullah  SAW  kepada  Ali  ra.  disebutkan bahwa,’Jangan  lah  kamu  mengikuti  pandangan  pertama  (kepada wanita)  dengan  pandangan  berikutnya.  Karena  yang  pertama  itu
untukmu dan yang kedua adalah ancaman / dosa”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy dan Hakim). Bila para wanita sudah menutup  wajah, buat apalagi perintah  menundukkan  pandangan  kepada  laki-laki. Perintah itu menjadi tidak relevan lagi. 

6. Tabir Penutup Ruangan
Memang  para  ulama  berbeda  pandangan  tentang kewajiban memasang tabir antara tempat lak-laki dengan tempat wanita. Yang disepakati adalah bahwa para wanita wajib  menutup  aurat  dan  berpakaian  sesuai  dengan ketentuan syariat. Juga sepakat bahwa tidak boleh terjadi ikhtilat  (campur  baur)  antara  laki  dan  wanita.  Serta haramnya khalwah atasu berduaan menyepi antara laki-laki dan wanita.  Sedangkan  kewajiban  untuk  memasang  kain  tabir penutup  antara  ruangan  laki-laki  dan  wanita,  sebagian ulama mewajibkan dan sebagian lainnya tidak mewajibkan.
1. Pendapat Pertama : Yang Mewajibkan Tabir
Mereka yang mewajibkan harus dipasangnya kain tabir penutup  ruangan  berangkat  dari  dalil  baik  Al-Quran maupun As-Sunah 
a. Dalil Al-Quran :
Hai  orang-orang  yang  beriman,  janganlah  kamu  memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu , dan Allah tidak malu yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu  kepada mereka, maka MINTALAH DARI BELAKANG TABIR. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah  dan  tidak   mengawini  isteri-isterinya  selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar  di sisi Allah.(QS. Al-Ahzab : 53) Ayat tersebut menyatakan bahwa memasang kain tabir penutup meski perintahnya  hanya  untuk para isteri nabi, tapi berlaku juga hukumnya untuk semua wanita. Karena pada dasarnya para wanita harus menjadikan para istri nabi
itu menjadi teladan dalam amaliyah sehari-hari. Sehingga kihtab ini tidak hanya berlaku bagi istri-istri nabi saja tetapi juga semua wanita mukminat. 
b. Dalil As-Sunnah 
Diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba Ummu Salamah, bahwa Rasulullah  s.a.w.  pernah  berkata  kepada  Ummu  Salamah  dan Maimunah yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya. Nabi  bersabda:  "pakailah  tabir".  Kemudian  kedua  isteri  Nabi  itu berkata:  "Dia  (Ibnu  Ummi  Maktum)  itu  buta!"  Maka  jawab  Nabi: "Apakah  kalau  dia  buta, kamu  juga  buta?  Bukankah  kamu  berdua melihatnya?" 

2. Pendapat Kedua : Yang Tidak Mewajibkan 
Oleh  mereka  yang  mengatakan  bahwa  tabir  penutup ruangan yang memisahkan ruangan laki-laki yang wanita itu tidak merupakan kewajiban, kedua dalil di atas dijawab dengan argumen berikut : 
a. Dalil AL-Quran 
Sebagian  ulama  mengatakan  bahwa  kewajiban memasang  kain  tabir  itu  berlaku  hanya  untuk  pada istri
Nabi,   sebagaimana  zahir  firman  Allah  dalam  surat  AlAhzab : 53. Hal  itu  diperintahkan  hanya  kepada  istri  nabi  saja karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka serta rasa hormat terhadap para ibu mukimin itu. Sedangkan terhadap wanita  mukminah  umumnya,  tidak  menjadi  kewajiban harus  memasang  kain  tabir  penutup  ruangan  yang memisahkan ruang untuk laki-laki dan wanita. Dan bila mengacu  pada asbabun nuzul ayat  tersebut, memang kelihatannya memang diperuntukkan kepada para istri nabi saja.
b.Dalil Sunnah 
Kalangan  ahli  tahqiq  (orang-orang  yang  ahli  dalam penyelidikannya  terhadap  suatu  hadis/pendapat)
mengatakan  bahwa  hadits  Ibnu  Ummi  Maktum  itu merupakan hadis yang tidak sah menurut ahli-ahli hadis, karena Nabhan yang meriwayatkan Hadis ini salah seorang yang omongannya tidak dapat diterima. 
Kalau ditakdirkan hadis ini sahih, adalah sikap kerasnya Nabi  kepada  isteri-isterinya  karena  kemuliaan  mereka, sebagaimana beliau bersikap keras dalam persoalan hijab. 
c.  Dalil  Lainnya  :  Isteri  yang  Melayani  Tamu-Tamu Suaminya 
Banyak ulama yang mengatakan bahwa seorang isteri boleh  melayani  tamu-tamu  suaminya  di  hadapan  suami, asal dia melakukan tata kesopanan Islam, baik dalam segi berpakaiannya,  berhiasnya,  berbicaranya dan berjalannya. Sebab secara wajar mereka ingin melihat dia dan dia pun ingin melihat mereka. Oleh karena itu tidak berdosa untuk berbuat seperti itu apabila diyakinkan tidak terjadi fitnah
suatu apapun baik dari pihak isteri maupun dari pihak tamu. Sahal bin Saad al-Anshari berkata sebagai berikut : "Ketika Abu Asid as-Saidi menjadi pengantin, dia mengundang Nabi dan sahabatsahabatnya,  sedang  tidak  ada  yang  membuat  makanan  dan  yang menghidangkannya kepada mereka itu kecuali isterinya sendiri, dia menghancurkan (menumbuk) korma dalam suatu tempat yang dibuat dari batu sejak malam hari. Maka setelah Rasulullah s.a. w. selesai makan,  dia  sendiri  yang  berkemas  dan  memberinya  minum  dan menyerahkan  minuman  itu  kepada  Nabi."  (Riwayat  Bukhari  dan Muslim)  Dari hadis ini, Syaikhul Islam Ibnu Hajar berpendapat: "Seorang  perempuan  boleh  melayani  suaminya  sendiri bersama orang laki-laki yang diundangnya ..."  Tetapi tidak diragukan lagi, bahwa hal ini apabila aman dari  segala  fitnah  serta  dijaganya  hal-hal  yang  wajib, seperti hijab. Begitu juga sebaliknya, seorang suami boleh
melayani  isterinya  dan  perempuan-perempuan  yang diundang oleh isterinya itu. Dan  apabila  seorang  perempuan  itu  tidak  menjaga kewajiban-kewajibannya,  misalnya  soal  hijab,  seperti kebanyakan  perempuan  dewasa  ini,  maka  tampaknya seorang perempuan kepada laki-laki lain menjadi haram. 
d. Dalil bahwa Masjid Nabawi di Zaman Rasulullah SAW Tidak Memakai Tabir 
Pandangan  tidak  wajibnya  tabir  didukung  pada kenyataan bahwa masjid nabawi di masa Rasulullah SAW masih hidup pun tidak memasang kain tabir penitup yang memisahkan antara ruangan laki-laki dan wanita. Bahkan sebelumnya, mereka keluar masuk dari pintu yang sama, namun  setelah  junmlah  mereka  semakin  hari  semakin banyak, akhirnya Rasulullah SAW menetapkan satu pintu
khusus untuk para wanita.  Hanya saja Rasulullah SAW memisahkan posisi shalat
laki-laki dan wanita, yaitu laki-laki di depan dan wanita di belakang

Wallahu A`lam Bish-shawab.

! أشكركم على القراءة

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS